Metroislam.id – Pascarezim Soeharto Mei 1998, muncul kelompok-kelompok Islam militan dan radikal, seperti Front Pembela Islam, Hizbut Tahrir Indonesia, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, dan Jamaah Islamiyah. Mereka aktif berdemonstrasi menuntut penerapan syariah dan revitalisasi khilafah serta menggelar aksi jihad di kawasan-kawasan konflik.
Mereka membuat banyak kalangan khawatir dengan masa depan Indonesia bisa berubah menjadi neraka seperti Afghanistan, Irak, Syiria. Gelombang pasang radikalisme Islam di kancah politik pascaSoeharto berakar pada suburnya ideologi Islam transnasional yang memperkenalkan tren baru dalam pemikiran, wacana, dan aktivisme keislaman di Indonesia.
Gerakan Islam transnasional berkembang mempengaruhi dinamika keagamaan, politik, sosial, dan budaya muslim Indonesia yang sulit dibendung (hlm v). Secara geopolitik dan geostrategik, penyebaran ideologi Islam transnasional tidak dapat dipisahkan dari kontestasi Arab Saudi dan Iran.
Revolusi Iran 1979 dalam menjatuhkan Syah Reza Pahlevi dan berbagai kejadian penting lain seperti Perang Teluk 1991, invasi Irak tahun 2003, dan bergulirnya The Arab Spring tahun 2011 semakin membuat Arab Saudi kehilangan kepercayaan diri dalam merebut pengaruh keislaman dunia. Dominasi Iran menyudutkan posisi Arab.
Salafi dan syiah merupakan bentuk ideologi Islam transnasional karena melintas tanpa batas dari tempat kedua ideologi tersebut berasal ke berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagai ideologi Islam transnasional, penyebaran salafi dan syiah bersifat ekspansif. Kedua aspek tersebut memainkan peran penting dalam penyebaran salafi dan syiah yang menembus batas dan ruang, tanpa mengikatkan diri pada aturan suatu negara (hlm 3).
Ideologi Salafi mampu mempengaruhi diskursus pemikiran muslim Indonesia dalam semangat puritanisme dan membentuk pemikiran keislaman sebagian muslim Indonesia. Mereka cenderung tidak mau mengakui secara penuh nilai, tradisi, dan budaya yang sedikit banyak akan melunturkan rasa nasionalisme.
Ideologi syiah dalam membentuk pemahaman keislaman di Indonesia terlihat dalam upayanya memasukkan kajian-kajian keislaman yang bersifat pencarian kebenaran. Melalui pendekatan tasawwuf irfani nazhari, syiah lebih menekankan kajian filsafat keislaman daripada teologinya (hlm 336).
Persaingan di antara para pengikut salafi dan syiah Indonesia, mengarah pada bentuk geopolitik dan geostrategik yang dimainkan Arab Saudi dan Iran melalui penciptaan state of mind. Jika salafi menunjukkan intensitas penggunaan cara yang halus dalam menandingi sentimen sekte, maka syiah menunjukkan intensitas penggunaan cara yang halus. Syiah memilih menggunakan strategi dengan mengangkat tema universalitas Islam, hak asasi, pluralisme, demokratisasi, dan kebebasan untuk berkeyakinan melalui seminar, ceramah, dan media. Bahkan melakukan deklarasi dengan berbagai organisasi Islam moderat Indonesia (hlm 335).
Ideologi salafi dan syiah diekspansi melalui lembaga pendidikan sebagai sarana efektif menginternalisasikan kepada masyarakat. Dia juga menjadi sarana mempertahankan ideologi untuk menarik pengaruh, simpati, dan pengakuan masyarakat terhadap kedua ideologi tersebut.
Di Indonesia, ada Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang menyebarkan ideologi salafi. Lembaga ini berfokus pada dakwah keislaman dan kajian tokoh-tokoh Salafi Wahabi. Lembaga ini mendapat dana melimpah dari Arab Saudi. LIPIA diharapkan dapat menjadi model pendidikan alternatif melegitimasi kepentingan Arab Saudi, khususnya dalam mengeksportasi ideologi salafi.
Sedangkan ideologi syiah melalui Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra di bawah Yayasan Hikmah al-Mustafa yang berdiri 2012 memberi beasiswa kepada para mahasiswanya. Lembaga ini menekankan pengembangan pemikiran-pemikiran keislaman syiah. (Koran Jakarta)
Diresensi Umi Salamah, Mahasiswi IAINU Kebumen, Jateng